BAGIAN I
PEMAHAMAN ADAT BATAK
PENDAHULUAN
Sesungguhnya Orang Batak harus bangga dengan sukunya, yang pada dasarnya Bangso Batak sebagai salah satu etnis diatas bumi ini, memiliki suatu budaya tersendiri yang disebut “Budaya Habatahon”, dengan keberadaannya secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi tatanan dan pola hidup masyarakat batak dimanapun ia berada.
Melekatnya budaya habatahon ini dominan digambarkan dengan melekatnya adat-istiadat yang sampai saat ini masih dipertahankan dan dijalankan dalam kekerabatan yang ada pada seluruh turunan Raja Batak yakni : Batak Toba, Simalungun, Angkola & Mandailing, Pakpak-Dairi dan Karo. Selain daripada adat-istiadat tersebut, budaya habatahon diperkaya dengan adanya : marga-marga, kaum kerabat (partuturon), dalihan na tolu, aksara batak, bahasa, penyebutan waktu dan penjuru angin, pesta-pesta, pusaka, keyakinan, kesenian, yang pada hakikatnya kita yakini bahwa semua itu adalah sebagai pemberian dan anugrah dari Tuhan pencipta langit semesta kepada nenek moyang bangso batak dahulu kala.
Dengan demikian bangso Batak sepatutnyalah berterima kasih kepada Tuhan Sang pemberi keindahan itu yang sampai kini masih bisa eksis di tengah-tengah keberadaannya dalam kemajemukan suku bangsa yang ada di sekelilingnya, serta berkewajiban melestarikannya. Sebab, adat batak itu adalah suatu pemahaman dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis pada saat terciptanya oleh nenek moyang bangso batak dahulu kala.
Oleh sebab adat-istiadat itu diwariskan para leluhur bangso batak kepada turunannya dari generasi ke generasi (sian suddut tu suddut) berikutnya tidak dengan tertulis, maka sebagai perekatnya adanya falsafah orang batak : “Ompu sijolojolo tubu martungkot salagundi, na pinungka ni sijolojolo tubu i ido si ihuthonon ni na umpudi.
PEMAHAMAN KONSEPTUAL ADAT BATAK[1]
Adat Batak pada hakikatnya adalah rangkaian peraturan dan hukum tidak tertulis yang mengatur segala aspek kehidupan orang perorangan, keluarga / rumah tangga dan masyarakat Batak. Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan perorangan harus berjalan dalam tatanan adat, ikatan rumah tangga / keluarga harus dilaksanakan dan dikukuhkan dalam ketentuan adat, hubungan sosial dan struktur kemasyarakatan juga diatur dalam adat.
Setiap pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan perorangan, rumah tangga dan kelompok masyarakat dianggap sebagai suatu saat atau titik kritis dalam siklus itu, sehingga harus dilewati melalui upacara ritual adat. Setiap permasalahan yang timbul dalam saling hu-bungan atau interrelasi sosial antar anggota masyarakat dianggap sebagai gangguan keseim-bangan kehidupan makro-kosmos, sehingga harus segera diatasi dengan upacara ritual adat. Segala perselisihan diantara anggota masyarakat dan tindakan kriminal juga diselesaikan dan dihukum dengan aturan-aturan adat.
Adat juga mengatur tatacara pemujaan dan penyembahan para dewata dan roh-roh nenek moyang, yang akan menjaga dan memelihara ketenangan dan kesenangan para dewata dan roh-roh tersebut sehingga kekuatan-kekuatan mistis yang diembannya tidak mengganggu kehidupan manusia.
Ungkapan yang mengatakan : “Adat do ugari, sinihathon ni Mulajadi ; siradotan manipat ari, siulaon di siulubalangari”, merupakan suatu pernyataan yang diterima dan diakui oleh seluruh masyarakat Batak bahwa adat adalah hukum dan aturan yang harus dipelihara sepan-jang hari dan dilaksanakan sepanjang hidup. Ia diterima sebagai suatu kewajiban agar perjalanan hidup pribadi, keluarga serta masyarakat berjalan dengan tenteram, tertib dan sejahtera.
PERANAN ADAT DALAM TATA HIDUP BATAK[2]
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa segala aspek kehidupan masyarakat Batak selalu dan secara terus menerus berada dalam bimbingan dan pengaruh adat. Setiap kegiatan dalam kehi-dupan harus dilaksanakan dengan aturan-aturan adat; setiap perkembangan dalam siklus kehi-dupan harus dijaga dengan ketentuan-ketentuan adat agar tidak terganggu oleh roh-roh atau tondi yang mengintai di mana-mana.
Untuk mencapai suatu kehidupan yang sejahtera orang harus membina dan memelihara kehidupan yang tertib, yang dalam masyarakat Batak dikenal sebagai kehidupan yang “maradat”. Tertib dalam kehidupan sendiri, tertib dalam berkerabat, tertib dalam bermasyara-kat. Ketertiban berkerabat dan ketertiban bermasyarakat telah diatur dalam adat dalam bentuk struktur bermasyarakat DALIHAN NATOLU, yang mengatur posisi/fungsi sosial setiap orang dalam 3(tiga) kelompok kekerabatan, yaitu Dongan Sabutuha, Boru dan Hulahula.
Setiap anggota masyarakat harus mengetahui posisinya masing-masing pada setiap saat dan situasi tertentu, serta tahu berperilaku sesuai dengan posisinya terhadap setiap orang di dalam kelompoknya dan dikelompok-kelompok lainnya. Adat mengatur perilaku-perilaku itu dengan ungkapan “manat mardongan tubu”, “elek marboru” serta “somba/hormat mar-hula-hula”, yang juga sekaligus mengatur tatacara bertutur kata di antara satu dan lainnya.
Di dalam proses perjalanan kehidupan kekerabatannya, setiap orang akan mengalami ketiga posisi / fungsi itu dalam dirinya sendiri pada situasi tertentu. Sehingga ketertiban berperilaku dan bertutur kata harus dimulai dari dalam diri sendiri dengan kesadaran yang benar atas posisi / fungsi sosialnya.
Hubungan manusia dengan alam juga harus dilakukan dengan tertib. Orang tidak boleh secara sembarangan, semau gue, membabat hutan untuk dijadikan lahan pertanian sawah atau kebun. Bahkan orang tidak boleh menebang pohon di hutan semaunya, secara berlebihan sampai merusak keseimbangan daya serap alamiah. Perbuatan-perbuatan demikian diyakini akan mengganggu keseimbangan makro-kosmos, dan roh-roh yang menjaga hutan serta pohon-pohon akan menunjukkan amarahnya berupa bencana alam seperti banjir, tanah longsor, amukan binatang buas dan lain-lain. Apabila hal itu sampai terjadi, perbaikannya hanya dapat dilakukan oleh seluruh kelompok masyarakat dengan upacara ritual adat.
Uraian singkat ini dengan jelas menunjukkan betapa mendalamnya adat berpengaruh dalam tata kehidupan orang Batak, sehingga orang sering mengatakan adat itu telah menjadi darah daging dalam tubuh dan kehidupan orang Batak.
Kesejahteraan yang menjadi sasaran kehidupan orang Batak sering dinyatakan dalam 3 (tiga) aspek yang diakui sangat menentukan status sosial seseorang yaitu : Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon. Hagabeon tidak secara langsung memperbesar Hamoraon dan sebaliknya Hamoraon tidak dapat membantu memperbesar Hagabeon. Tetapi kedua-duanya memberikan kontribusi dominan untuk memperbesar Hasangapon dan tidak sebaliknya.
KANDUNGAN SPRITUAL ADAT BATAK[3]
Sebagaimana dikemukakan di atas, adat Batak adalah hukum dan peraturan yang di wahyukan oleh dewata tertinggi, yaitu “Mulajadi Nabolon”, kepada nenek moyang orang Batak yang kemudian mengamanatkannya untuk dilaksanakan dan dipelihara oleh ketu-runannya sepanjang masa. Hal itu harus dilakukan bagi pemeliharaan keseimbangan mikro-kosmos dan makro-kosmos dalam totalitas kehidupan orang Batak yang dikuasai sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan adikodrati (supra-natural) melalui kehadiran para dewata dan roh-roh nenek moyang di segala sudut jagad raya ini.
Hubungan baik antara manusia hidup dengan para dewata dan roh-roh itu harus dijaga secara terus menerus melalui upacara-upacara adat dengan pemujaan dan persembahan (pelean-pelean).
Semua jenis upacara adat, baik kecil maupun besar, baik upacara sukacita maupun upa-cara dukacita, dengan tatacara yang telah diatur sedemikian rupa, pada hakikatnya adalah ritual-ritual agama atau religi lama Batak. Segala material, peralatan serta sarana yang di gunakan untuk ritual itu harus bersih dari segala macam roh jahat atau kotor, sehingga dia me-miliki “tondi” atau kekuatan mistis tertentu yang diperlukan bagi efektifitas pencapaian sasa-ran upacara adat yang dilaksanakan.
Uraian ini menunjukkan dengan jelas betapa adat Batak sangat sarat dengan kandungan spiritualistis yang berhubungan dengan kepercayaan lama atau religi lama orang Batak. Semua upacara adat Batak serta segenap elemen yang terkandung di dalamnya sangat terpaut erat dengan religi lama itu.
Bilamana adat Batak yang telah mendarah-daging dalam kehidupan orang Batak adalah ter-paut erat dengan religi lamanya, maka kehidupan itu sendiri pun terpaut erat dengan religi lama itu. Sehingga kehidupan orang Batak disebut-sebut sebagai kehidupan yang religius bahkan amat religius. Reliogiositas kehidupan inilah yang kemudian diperkirakan justru menjadi pintu masuknya religi baru yaitu kekristenan secara relatif mudah kedalam kehidupan bangso Batak. Sehingga berbagai teolog mengatakan bahwa religi lama orang Batak itu justru merupakan persiapan penerimaan Injil Kristus yang akan datang kemudian (preparatio evangelica).
SISTEM RELIGI DAN SISTEM PENGETAHUAN[4]
Masyarakat batak sebelum datangnya ajaran Islam dan Kristen menganut kepercayaan bahari “primitif”, suatu kepercayaan yang mencoba mendekatkan manusia dengan kekuatan di luar dirinya dengan cara-cara yang nyata melalui benda-benda, mantra-mantra maupun persemba-han-persembahan (sajian). Pengikut-pengikut kepercayaan tersebut tidak dapat di tentukan jumlahnya yang pasti, karena tidak terorganisasi seperti agama-agama lain. Manusia modern memandang dunia sebagai objek , tetapi manusia primitif memandang dunia sebagai subjek sama dengan dirinya.
Manusia hidup diantara makhluk-makhluk lainnya yang dianggap setarap. Semua benda-benda dianggap mempunyai daya kekuatan karena itu harus di tutupi dengan rasa takut, hikmad dan rasa berterima kasih. Benda-benda di anggap sebagai manusia ( seperti keris ), sebaliknya manusia dibuat seperti benda, lalu di beri mantra. Jarak antara objek dengan subjek dekat. Orang yang mempercayai alam gaib (magis) berpendapat bahwa dunia ini penuh dengan ke-kuatan gaib. Kekuatan gaib itu dapat di pergunakan, dapat di kuasai dengan alat-alat irrasional. Manusia modern menggunakan atau menguasai tenaga-tenaga tersebut dengan akalnya.
Demikian juga orang Batak dahulu sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, mereka memeluk agama “parbegu” atau kepercayaan animisme. Sampai sekarang pun masih ada sisa-sisa kepercayaan primitif itu tersebar di pelosok-pelosok dengan jumlah yang semakin kecil. Disamping yang disebut di atas, masih ada lagi kepercayaan lain yang masih dianut oleh masyarakat Batak, yakni “Parmalim” dan golongan si Raja Batak. Agama Parmalim sebagai salah satu agama yang terdapat di daerah tanah Batak, adalah berasal dari kata “Alim”. Si Singamangaraja adalah penganut kepercayaan parmalim. Dan menurut keyakinan penganut agama itu, bahwa turunan Si Singamangaraja akan menjadi Raja di seluruh dunia. Juga mereka meyakini bahwa Si Singamangaraja tidak pernah mati. Golongan si Raja Batak adalah pendukung Si Singamangaraja. Isi dogma golongan si Raja Batak adalah “Sitolu sada”, yaitu Debata di atas, Deabata di tengah dan Debata di bawah.
Masuknya agama Islam di Sumatera Utara terutama di tanah Batak mula-mula di daerah Barus. Kemudian berkembang lebih luas lagi ke Tapanuli Selatan, Mandailing, Angkola dan kedaerah Simalungun di Sumatera Timur, baru ke pelosok-pelosok daerah Sumatera Utara. Sebelum masuknya agama Kristen ke Sumatera Utara, dimana pengaruh agama Islam sudah lebih dahulu masuk, terutama di daerah tepi pantai. Oleh sebab itu para pekabar Injil dari Eropah mengambil daerah penyebarannya yaitu pada daerah-daerah yang belum dimasuki agama Islam. Daerah Batak yang pertama kali dimasuki oleh pekabar Injil Kristen pada tahun 1820 di Sibolga, kemudian ke Silindung. Kemudian menyusul pekabar Injil lainnya dari Jerman. Pada 1 Oktober 1861 adalah sebagai lahirnya HKBP di Sipirok. Adapun tempat-tempat penyebaran agama Kristen di Tapanuli Selatan yaitu Bunga Bondar dan Sipiongot (Padang Bolak).
Pengkristenan dan pendidikan yang di lakukan oleh pendeta-pendeta Jerman terhadap orang Batak adalah merupakan dua sejoli yang tidak pisah satu sama lain. Hal ini bertujuan untuk merobah pola pemikiran kolot dari orang Batak itu sendiri, menuju modernisasi, melalui sistem pendidikan. Pola pemikiran kolot itu baru nampak jelas perobahannya semenjak
EKSISTENSI ADAT BATAK DI ERA GLOBALISASI
Dalam perkembangan zaman dari waktu ke waktu, bahwa kehidupan orang baik secara perorangan, keluaga maupun kelompok. Masyarakat cenderung di pengaruhi situasi maupun kondisi yang ada di sekitarnya. Apalagi pengaruh dari perkembangan zaman yang semakin mengglobal, akibatnya keterikatan seseorang dengan pola lama atau yang bersifat tradi-sional akan mudah bergeser dan di tinggalkan.
Tidaklah heran apabila para pemuka adat di kalangan marga-marga batak sangat khawatir akan ancaman kecenderungan kaum muda melupakan adat habatahon ini. Pada hal, adat itu harus berkesinabungan seperti mata rantai yang tidak ada putusnya. Kecenderungan ini sudah mulai tampak dalam tatanan kehidupan orang batak pada akhir-akhir ini, sebab selain daripada pengaruh perkembangan zaman dan pengaruh kemajuan teknologi, juga sangat di pengaruhi dengan bertumbuhnya kelompok-kelompok “persekutuan” atau beberapa “sekte” yang meng-klaim bahwa melaksanakan adat batak itu sama dengan menyembah berhala dengan pengertian lain bahwa masih dalam pola orang batak masa lampau (religi lama) sebelum hakristenon.
Namun ada juga suatu situasi yang membuat kita heran dan bertanya dalam hati, sebab sering kita temui keluarga orang batak yang sudah menekuni suatu persekutuan atau sekte-sekte tertentu, yang dalam dirinya seolah-olah telah berikrar (fanatik) membenci dan tidak menyukai adat batak itu lagi. Akan tetapi disuatu saat gilirannya tiba yang bersangkutan hendak mengawinkan anaknya (pangolihon anak atau pamuli boru), mereka sangat-sangat memerlukan adat batak itu. Oh ! sebenarnya apa yang salah atau apa yang baik dalam adat batak itu ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar